Definisi hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah
perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan
dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang
lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang
bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan
yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun
(rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat,
maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan
diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang
yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang
hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas,
keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang
dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat
dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan
pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh
karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa
perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang
dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan
yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu
yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah
yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak
harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk
tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu
adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal
dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul
dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu
yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang
tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga
yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar
dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi
karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
·
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas konsensualisme Asas konsensualisme,
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara
para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP
Perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara
penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
·
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu
persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Ada tiga macam novasi
yaitu :
1) Novasi obyektif,
dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif
pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
·
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah
salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua
orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B. Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata,
yaitu utang tersebut :
-
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang
atau.
-
Berpokok sejumlah barang yang dapat
dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang
dapat diganti.
-
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan
dapat ditagih seketika.
·
Pembebasan utang
Undang-undang tidak
memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang
adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH
Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus
dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh
kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang
maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang
tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau
penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan :
1. pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang,
2. pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama,
3. pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak
membebaskan penanggung lainnya.
·
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang
menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau
hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur,
sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari
perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan
sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu
musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa
dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan
itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau
kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah
tanggungan debitur.
·
Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini
dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat
dibatalkan.
Disebut batal demi
hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B
tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum.
Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan
perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap
berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual
dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi
kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur
dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan.
Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum,
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi
ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika
undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
·
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan
syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah
pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada
asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan
yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
·
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan
Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu
atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu
dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian
menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal
tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu:
1. Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
2. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive
prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya
dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”.
Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa
lebih singkat dan praktis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar